Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Keraguannya Pada Dewa
Setelah beberapa hari, aku masih sering memperhatikannya. Ia berbaring di atas matras keras yang tidak lebih tebal dari novel 500 halaman yang sedang kubaca. Matanya selalu memerah, membengkak. Wajahnya muram, dan pandangannya penuh kemarahan, terarah lurus ke patung Zhao Gong Ming yang berdiri di atas Sandoi.
Cahaya pagi mulai masuk dari celah tirai, memberi isyarat bahwa hari telah berganti. Ia bangkit dengan gerakan malas, berjalan menuju kamar mandi, lalu kembali dengan wajah bersih—cantik, seperti merpati putih yang terbang menuju matahari. Mata sipitnya tampak redup dan tenang, seperti cahaya lampu minyak yang hampir padam. Namun, arah pandangnya tetap sama: altar dengan sesajen dan dua batang dupa yang masih mengepul pelan.
Tubuhnya subur, seperti pohon rindang di pinggir jalan yang terlihat dari ruang kantor Chan Agnesi ini. Pohon yang, ketika hujan atau panas datang, orang-orang akan berlari berebut untuk berteduh di bawahnya. Sambil berjalan dengan sedikit menyeret kaki kirinya, ia merapikan rambut ikalnya—seperti seikat padi yang baru saja dipanen.
“Ini hari Minggu, Ta. Kamu bisa istirahat dan bangun lebih siang. Staf agensi tidak akan datang di hari libur.”
Ia hanya menoleh padaku dengan tatapan tajam dari mata sipitnya. Tiba-tiba, seperti letusan gunung, ia marah dan menghancurkan altar itu tanpa ragu, lalu tersungkur dengan suara tangis yang menggelegar. Aku berlari dari salah satu ruang kantor agensi dan memeluknya dalam ketakutan. Lambat laun, ia mulai bercerita—terputus-putus, seperti rangkaian puzzle yang apabila kurangkai akan terdengar seperti ini:
“Dulu, Ibu pernah berkata bahwa para dewa tidak akan pernah mendengarkan permintaan keluarga kami. Dahulu, selain di dalam rumah, leluhurku juga meletakkan sebuah altar sembahyang di bawah pohon beringin di halaman. Pada 1998, Ibu masih berumur 18 tahun. Sebuah kejadian tragis terjadi yang membuat leluhurku menghilang di bawah pohon beringin itu. Kecuali Ibu yang tergolek lemas setelah diperkosa oleh beberapa laki-laki, seluruh kekayaan kami dijarah dan seakan lenyap ditelan pohon itu. Setelah jatuh dari masa keemasan, meski tanpa tahu siapa ayah biologisku, dengan kebesaran hati, Ibu membesarkanku dalam kehidupan yang sulit.
Sejak hari itu, ia melarangku percaya pada dewa. Dewa tidak akan mengubah nasib kami. Maka, aku berpikir untuk mengubahnya sendiri. Pada usia yang belum memenuhi kriteria untuk berangkat ke Hong Kong, aku membiarkan PJTKI mengubah data kelahiranku. Tak lama, aku pun berangkat dengan bekal keahlian dan pengetahuan yang minim. Beruntung, ketika menginjak rumah keluarga Ming tiga bulan lalu, Thai-thai sangat menyukaiku, sebab aku tidak pemilih dalam makanan. Aku bisa makan daging babi satu meja dengan mereka. Popo sangat menyukaiku karena penampilanku yang menyandang ciri fisik seperti orang Hong Kong. Dan bajingan itu… sejak awal memang begitu baik.
Setiap hari, Thai-thai bekerja sebagai karyawan di sebuah restoran makanan, sementara suaminya hanya bekerja empat hari dalam seminggu. Pekerjaanku, selain memasak, mencuci baju, pergi ke pasar, dan membersihkan rumah, aku juga harus mengantar makanan setiap siang untuk popo di panti jompo yang tidak jauh dari rumah. Sore itu, Thai-thai menelepon dan memberi tahu bahwa dia tidak akan pulang untuk makan malam. Aku hanya makan bersama suaminya. Tuan Ming memintaku untuk menyiapkan sebotol minuman yang ia simpan di buffet di atas televisi. Aku tidak tahu apa isinya.
Aku mencuci piring bekas makan malam kami berdua. Tuan Ming mengambil sebuah gelas kecil dari laci di belakang tubuhku, dengan posisi seakan memeluk. Aku sempat kaget dan hendak berteriak, tapi dalam sekejap ia sudah pergi ke ruang tamu dengan dua gelas kaca yang begitu kecil.
Tidak lama setelah itu, karena merasa pekerjaanku di dapur sudah selesai, aku pergi ke kamarku untuk menyetrika baju yang tadi pagi kujemur. Tuan Ming memanggilku dari ruang tamu.
“Minumlah, Ita!” katanya sambil menyodorkan segelas air berwarna kemerahan.
Aku berterima kasih dan menolak pemberiannya, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Aku melihat Tuan Ming pergi ke kamarnya. Ia memanggilku dengan suara keras, memerintahku untuk menutup jendela kamarnya. Uap setrika mengepul di dalam kamar. Tanpa mematikan setrika itu, aku memasuki kamar Tuan Ming dan menutup jendelanya. Angin bulan November menghembus wajahku. Angin-angin yang tersisa itu menerpa rambutku yang kemudian ditarik begitu keras dari belakang oleh Tuan Ming. Tubuhku terlentang, menghadap tepat ke arah jendela yang baru saja kututup. Ia membekap mulutku dan memukulku berkali-kali. Belum puas dengan itu, ia pergi ke kamarku dan mengambil setrika yang kutinggalkan dalam keadaan menyala.
Dalam kondisi tak berdaya, dengan semua kain yang telah terlepas dari tubuhku, ia meletakkan benda panas itu di pahaku.
Dalam sekejap, bau daging terbakar memenuhi kamar. Udara menjadi pengap, dan teriakan melengking dari mulutku masih begitu jelas dalam ingatan. Amis darah tidak hanya mengucur dari pahaku. Sebuah benda tumpul memecah harga diriku. Detik demi detik rasa perih yang sangat menyakitkan membuatku tak sadarkan diri. Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran, ada bayangan Ibu yang menggantung di kelopak mata. Ada suaranya yang memanggil namaku, menyamarkan erangan-erangan Tuan Ming di atas tubuhku. Ada senyum Ibu yang membuatku terlena hingga aku benar-benar tak sadar. Dengan segenap tenaga, aku meninggalkan rumah itu dan pergi ke agensi.
Tapi setelah kau membawaku ke rumah sakit, apa yang kudapat dari mereka? Bahkan mereka menimpakan kesalahan dan dosa itu padaku.”
Dengan tangisan terengah-engah, aku tetap memeluknya,meyakinkannya seolah semua akan baik-baik saja. Luka di pahanya mungkin pulih, tapi aku tidak yakin dengan luka yang lain.
Sandoi = Altar atau meja untuk sembahyang dan meletakkan patung dewa.
Thai-thai = Nyonya / majikan perempuan
Popo = Nenek dari sisi anak perempuan.
*Cerpen ini memenangkan juara ketiga kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh Pathfinder Hong Kong dan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) Hong Kong.
Popular Posts
Langkah-langkah Melanjutkan perkuliahan Setelah Cuti di Universitas Terbuka
- Get link
- X
- Other Apps
Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment