Featured

Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata

Mencegah darurat militer sebenarnya tak jauh berbeda dengan mencegah banjir. Sama-sama membutuhkan kerja sama, kesadaran, dan kesigapan. Namun, ketika seorang influencer menulis sebuah kalimat, makna kalimat itu justru menimbulkan perdebatan: apakah ia sedang berterima kasih atau menyindir?

Dalam podcast Total Politik terbaru, Soleman B. Ponto, seorang purnawirawan perwira tinggi TNI sekaligus mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), menyatakan bahwa kalimat Ferry Irwandi dalam postingannya tertanggal 31 Agustus 2025 yang berbunyi, Darurat Militer hari ini bisa dicegah. Terima kasih kerja keras dan kerja samanya, teman-teman,” adalah sebuah pernyataan yang mencemarkan nama baik TNI. Menurutnya, karena pada hari itu tidak pernah terjadi Darurat Militer (DM), maka merupakan fitnah saat Ferry Irwandi tiba-tiba menyebut DM. Tidak banyak yang bisa dibahas sebenarnya dalam perdebatan ini, tetapi cukup menarik jika dipandang dari segi bahasa.

Seperti kita tahu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, penggunaan kata tertentu sering kali sangat menakutkan bagi penguasa negeri ini. Sejak Orde Baru, politisasi bahasa sudah dilakukan untuk memengaruhi masyarakat, seperti diubahnya kata “korupsi” menjadi “penyalahgunaan wewenang,” “represif aparat” menjadi “menertibkan” atau “mengamankan,” bahkan “demonstrasi” yang diganti menjadi “aksi anarkis.” Meskipun tidak secara terang-terangan dilarang, melainkan melalui lembaga sensor, hal ini tetap menandakan betapa bahasa sangat menakutkan bagi kekuasaan. Karena sensor media sudah tidak berlaku, maka kemudian UU ITE diciptakan sebagai alat untuk membungkam seseorang.

Lantas, apakah benar kalimat Ferry Irwandi ini adalah bentuk pencemaran nama baik? Mari kita telaah secara singkat:

  • “Darurat Militer hari ini bisa dicegah. Terima kasih kerja keras dan kerja samanya, teman-teman.”
    Kita coba ubah dengan kalimat lain yang memiliki struktur yang sama:
    Banjir hari ini bisa dicegah. Terima kasih telah membuang sampah pada tempatnya, masyarakat.”

  • Dalam dua kalimat ini tidak menyertakan subjek eksplisit yang dituding, seperti TNI, ketua RT, atau presiden.

  • Dari keduanya, kita menyimpulkan bahwa “banjir” dan “DM” adalah sebuah peristiwa buruk.

  • Kenapa dianggap buruk? Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi. Baik banjir maupun DM menyebabkan korban dan merugikan masyarakat sipil.

  • Kenapa penulis menyatakan kemungkinan adanya “DM” dan “banjir”?
    Kemungkinan adanya banjir adalah hujan lebat atau aliran sungai yang mampet.
    Kemungkinan dicetuskannya DM adalah perang dan ancaman militer luar negeri, separatis, dan situasi luar biasa yang tidak bisa ditangani oleh kepolisian.

  • Pertanyaannya, apakah hari itu ada hujan? Ya, tetapi aliran sungai tidak mampet.

  • Apakah hari itu ada situasi yang tidak bisa ditangani oleh kepolisian? Pada momen itu terjadi demonstrasi akibat meninggalnya Affan Kurniawan yang dilindas oleh mobil barakuda polisi, sehingga masyarakat marah dan sebagian besar menyerang kantor polisi, bahkan melakukan aksi pembakaran. Namun, polisi masih bisa mengamankannya.

Dari telaah itu, kita bisa melihat bahwa tidak ditemukan adanya unsur menjelekkan sebuah institusi dalam kalimat itu. Fungsi bahasa dalam kedua kalimat lebih cenderung pada ajakan preventif sekaligus apresiasi kolektif, bukan sindiran pada pihak tertentu. Meski demikian, potensi salah tafsir memang bisa saja terjadi, hanya saja seharusnya tidak mengarah pada tafsir makar. Dua kalimat itu bisa dimaknai secara netral sebagai ungkapan syukur karena situasi genting tidak terjadi, atau secara kritis sebagai isyarat bahwa ada ancaman nyata yang berhasil diredam. Saya rasa polemiknya baru akan muncul jika istilah “darurat militer” dianggap sensitif oleh negara, sebagaimana Orde Baru menganggap kata “demonstrasi” sebagai kata yang sensitif.

Hemat saya, kepada Bapak Soleman B. Ponto sebagai orang yang punya intelektualitas sehingga mampu menjabat sebagai mantan Kepala BIN, banjir dan darurat militer sama-sama bisa dicegah. Bedanya, banjir dicegah dengan tindakan nyata, sementara darurat tafsir dicegah dengan sikap dewasa terhadap bahasa. Maka, pertanyaan yang tersisa: apakah kita sudah cukup bijak membaca sebelum bereaksi?

 

Comments