Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Artis Caleg: Kapabilitas atau Popularitas?
Setelah resmi dibuka pada (04/07/17), KPU (Komisi Pemilihan Umum) menutup pendaftaran bakal calon legislatif pada Selasa (17/07/18). Tak berbeda dari sebelumnya, pemilihan calon legislatif mendatang juga akan diramaikan oleh tokoh-tokoh dari dunia hiburan. Sejumlah artis mencalonkan diri dengan bermodal popularitas.
Dikutip dari Kompas.com:
“Makanya kami memilih banyak figur yang memenuhi syarat tadi. Kompetensinya, integritasnya, itu syarat penting untuk politik nasional. Dan terakhir, elektabilitasnya bagus. Elektabilitas enggak ada dan enggak terpilih, nanti sayang,” ujar Jhony, Sekjen Partai Nasdem, yang membantah bahwa partainya paling banyak menggaet calon legislatif dari kalangan artis bermodal popularitas semata, lantaran khawatir terhadap ambang batas parlemen dalam Pemilu 2019.
Sebanyak 54 artis tercatat akan mewarnai jagat politik Indonesia. Di antaranya: 27 orang diusung oleh Partai Nasdem, 13 orang oleh PDIP, 7 orang oleh PKB, 5 orang dari Partai Berkarya, 4 orang dari PAN, 4 orang dari Golkar, 4 orang dari Demokrat, 3 orang dari Perindo, 3 orang dari Gerindra, dan 1 orang dari PSI.
Tak sedikit dari mereka memang telah lebih dulu terjun ke dunia politik, sebut saja Okky Asokawati, yang tahun ini berpindah dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Partai Nasdem.
Jika pada masa lalu para selebriti hanya digunakan sebagai vote getter atau pendulang suara melalui aksi panggung dan dukungan dalam kampanye, kini mereka benar-benar ditampilkan sebagai tokoh sekaligus aktor politik. Tentu saja, faktor popularitas menjadi modal utama.
Seperti yang diungkapkan Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Ardian Sopa, ketika dihubungi Kompas.com pada Selasa (17/07/18), para artis yang mendaftar sebagai caleg memang memiliki modal utama berupa popularitas.
Namun, sebagai jembatan aspirasi rakyat, para artis ini tidak boleh hanya mengandalkan nama besar. Popularitas semata tidak cukup. Mereka dituntut untuk membuktikan bahwa daya tarik mereka bukan hanya sebatas di layar kaca. Kemampuan berkomunikasi secara substansial, menyerap aspirasi, dan berinteraksi dengan masyarakat harus menjadi prioritas. Jika tidak, kehadiran mereka hanya akan memperkuat citra politik sebagai panggung hiburan, bukan arena perjuangan rakyat.
“Untuk bisa meninggalkan legacy, intelektualitas juga perlu ditambah dengan integritas,” imbuh Ardian kepada Kompas.com.
Pada kasus-kasus sebelumnya, aspek yang bersifat substansial masih sulit ditunjukkan secara baik oleh sebagian artis. Bahkan ada beberapa yang justru kehilangan kredibilitasnya karena tersangkut kasus korupsi. Hal ini memperlihatkan bahwa modal popularitas tidak sebanding dengan tuntutan integritas dan kapabilitas yang harus dimiliki seorang wakil rakyat.
Meskipun masyarakat Indonesia sering disebut sebagai masyarakat sinetronik yang menyukai tontonan, harus disadari bahwa tingkat kritisisme publik juga semakin meningkat. Jika kredibilitas mereka buruk dan terbukti tidak memiliki kapabilitas, besar kemungkinan mereka justru akan menjadi problem bagi institusi legislatif dan memperburuk kondisi, di mana publik tidak lagi memberikan kepercayaannya.
*Tulisan dikirim untuk media cetak Koran Suara tahun 2018, tapi tidak lolos kurator. Saya telah melupakannya, tapi ternyata masih relevan sampai sekarang. Jadi mempublikasinya dalam blog pribadi.
Popular Posts
Langkah-langkah Melanjutkan perkuliahan Setelah Cuti di Universitas Terbuka
- Get link
- X
- Other Apps
Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment