Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Matinya Filsafat, Matinya Kepakaran: Dunia Tanpa Pengetahuan yang Bijaksana
Matinya Kepakaran, Matinya Filsafat: Dunia Tanpa Pengetahuan yang Bijaksana
Bunga Dahlia tumbu liar di Bromo Foto: Anis Safitri |
Dewasa ini, media sosial kita diramaikan oleh argumen seorang influencer berpengaruh, Ferry Irwandi. Dalam podcast “Pendidikan dan Cacat Pikir Zero Sum Game Bitcoin” bersama Timothy Ronald, Ferry Irwandi menyatakan bahwa jurusan filsafat harus dihapus, karena menurutnya sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ia juga berargumen secara teknologis bahwa sains dan teknologi modern telah mengambil alih peran filsafat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar. Oleh karena itu, menurutnya, tidak perlu lagi ada jurusan khusus filsafat.
Argumen ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak—baik dari netizen maupun dari para pakar keilmuan filsafat. Sebagai pengikutnya, saya merasa berada di ambang keraguan: apakah saya harus menyepakati atau menolak argumen tersebut? Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah bijak jika seorang Ferry—pakar ilmu ekonomi—berpendapat mengenai “keharusan menghancurkan” ilmu filsafat? Setelah berpikir sejenak, saya ingin mengutarakan apa yang melintas dalam pikiran saya.
Bagi saya, filsafat bukan sekadar bidang ilmu. Dalam pemahaman filsafat dasar, manusia tidak hanya dituntut bernalar tentang pengetahuan yang berkaitan dengan manusia, alam, dan eksistensi, tetapi juga memiliki nalar yang berkarakter serta melibatkan emosi yang tepat—ethos dan pathos. Oleh karena itu, filsafat harusnya ada dalam diri manusia, termasuk orang ekonom. Sebab itu juga, orang-orang yang menjadi pakar dalam suatu bidang keilmuan seharusnya memiliki tradisi berpikir yang mendalam dan reflektif.
Berbicara mengenai kepantasan Ferry berpendapat soal dihapusnya filsafat, saya rasa itu berkaitan dengan kepakaran. Masyarakat hari ini terus mengagungkan teknologi dan efisiensi, berpikir teknologis dan cepat, tanpa kebijaksanaan dan refleksi yang mendalam. Akibatnya, timbullah krisis otoritas intelektual: semua orang bisa berbicara tentang segala hal; semua opini tampak sama bobotnya. Di media sosial, orang dengan mudah menyamakan komentar seorang profesor dengan komentar anonim. Kepakaran tidak lagi dihormati sebagai sumber kebenaran atau kebijaksanaan, melainkan dianggap “hanya” opini lain yang setara.
Kepakaran itu sendiri dalam filsafat bukan hanya tentang data, rumus, atau bahkan gelar. Kepakaran menyangkut kemampuan dan tanggung jawab dalam membentuk serta menguji suatu argumen secara konsisten. Ketika kekonsistenan, kemampuan, dan pertanggungjawaban ini tidak lagi dihargai—atau yang sering disebut dengan istilah “matinya kepakaran”—maka pada saat itulah filsafat juga mulai tertinggal.
Jika hal ini terus berlangsung, saya rasa filsafat juga akan mengalami kematian.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Martin Heidegger yang mengatakan bahwa:
“Bahaya terbesar dari teknologi bukanlah mesin itu sendiri, tapi cara berpikir teknologis.”
Manusia memang dengan mudah bisa mendapatkan jawaban atas rumus, data, atau pertanyaan-pertanyaan besar lainnya dengan bantuan teknologi atau sains. Namun, apakah pengetahuan itu akan mengandung kebijaksanaan jika diperoleh tanpa adanya pertanyaan mendalam?
Popular Posts
Langkah-langkah Melanjutkan perkuliahan Setelah Cuti di Universitas Terbuka
- Get link
- X
- Other Apps
Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment