Skip to main content

Featured

Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata

Mencegah darurat militer sebenarnya tak jauh berbeda dengan mencegah banjir. Sama-sama membutuhkan kerja sama, kesadaran, dan kesigapan. Namun, ketika seorang influencer menulis sebuah kalimat, makna kalimat itu justru menimbulkan perdebatan: apakah ia sedang berterima kasih atau menyindir? Dalam podcast Total Politik terbaru, Soleman B. Ponto , seorang purnawirawan perwira tinggi TNI sekaligus mantan Kepala BIN ( Badan Intelijen Negara ), menyatakan bahwa kalimat Ferry Irwandi dalam postingannya tertanggal 31 Agustus 2025 yang berbunyi, “ Darurat Militer hari ini bisa dicegah. Terima kasih kerja keras dan kerja samanya, teman-teman,” adalah sebuah pernyataan yang mencemarkan nama baik TNI. Menurutnya, karena pada hari itu tidak pernah terjadi Darurat Militer (DM), maka merupakan fitnah saat Ferry Irwandi tiba-tiba menyebut DM. Tidak banyak yang bisa dibahas sebenarnya dalam perdebatan ini, tetapi cukup menarik jika dipandang dari segi bahasa. Seperti kita tahu, dalam perjal...

Matinya Filsafat, Matinya Kepakaran: Dunia Tanpa Pengetahuan yang Bijaksana

 Matinya Kepakaran, Matinya Filsafat: Dunia Tanpa Pengetahuan yang Bijaksana

Foto: Anis Safitri
Bunga Dahlia tumbu liar di Bromo 
Foto: Anis Safitri

Dewasa ini, media sosial kita diramaikan oleh argumen seorang influencer berpengaruh, Ferry Irwandi. Dalam podcast Pendidikan dan Cacat Pikir Zero Sum Game Bitcoin bersama Timothy Ronald, Ferry Irwandi menyatakan bahwa jurusan filsafat harus dihapus, karena menurutnya sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ia juga berargumen secara teknologis bahwa sains dan teknologi modern telah mengambil alih peran filsafat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar. Oleh karena itu, menurutnya, tidak perlu lagi ada jurusan khusus filsafat.

Argumen ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak—baik dari netizen maupun dari para pakar keilmuan filsafat. Sebagai pengikutnya, saya merasa berada di ambang keraguan: apakah saya harus menyepakati atau menolak argumen tersebut? Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah bijak jika seorang Ferry—pakar ilmu ekonomi—berpendapat mengenai “keharusan menghancurkan” ilmu filsafat? Setelah berpikir sejenak, saya ingin mengutarakan apa yang melintas dalam pikiran saya.

Bagi saya, filsafat bukan sekadar bidang ilmu. Dalam pemahaman filsafat dasar, manusia tidak hanya dituntut bernalar tentang pengetahuan yang berkaitan dengan manusia, alam, dan eksistensi, tetapi juga memiliki nalar yang berkarakter serta melibatkan emosi yang tepat—ethos dan pathos. Oleh karena itu, filsafat harusnya ada dalam diri manusia, termasuk  orang ekonom. Sebab itu juga, orang-orang yang menjadi pakar dalam suatu bidang keilmuan seharusnya memiliki tradisi berpikir yang mendalam dan reflektif.

Berbicara mengenai kepantasan Ferry berpendapat soal dihapusnya filsafat, saya rasa itu berkaitan dengan kepakaran. Masyarakat hari ini terus mengagungkan teknologi dan efisiensi, berpikir teknologis dan cepat, tanpa kebijaksanaan dan refleksi yang mendalam. Akibatnya, timbullah krisis otoritas intelektual: semua orang bisa berbicara tentang segala hal; semua opini tampak sama bobotnya. Di media sosial, orang dengan mudah menyamakan komentar seorang profesor dengan komentar anonim. Kepakaran tidak lagi dihormati sebagai sumber kebenaran atau kebijaksanaan, melainkan dianggap “hanya” opini lain yang setara.

Kepakaran itu sendiri dalam filsafat bukan hanya tentang data, rumus, atau bahkan gelar. Kepakaran menyangkut kemampuan dan tanggung jawab dalam membentuk serta menguji suatu argumen secara konsisten. Ketika kekonsistenan, kemampuan, dan pertanggungjawaban ini tidak lagi dihargai—atau yang sering disebut dengan istilah matinya kepakaran—maka pada saat itulah filsafat juga mulai tertinggal.

Jika hal ini terus berlangsung, saya rasa filsafat juga akan mengalami kematian.

Dalam hal ini, saya sepakat dengan Martin Heidegger yang mengatakan bahwa:

“Bahaya terbesar dari teknologi bukanlah mesin itu sendiri, tapi cara berpikir teknologis.”

Manusia memang dengan mudah bisa mendapatkan jawaban atas rumus, data, atau pertanyaan-pertanyaan besar lainnya dengan bantuan teknologi atau sains. Namun, apakah pengetahuan itu akan mengandung kebijaksanaan jika diperoleh tanpa adanya pertanyaan mendalam?

Comments