Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Orang Miskin Tidak Boleh Punya Anak dan Alasan-alasan Childfree yang Patut Dipertimbangkan
Seorang bapak berinisial P di Jagakarsa membunuh 4 anaknya dan menjejerkan mereka di tempat tidur. Hal ini ia lakukan atas buntut pertengkarannya dengan sang Istri karena menduga istrinya berselingkuh. Ia juga melakukan KDRT kepada istrinya pada Sabtu (1/12). Setelah dipanggil kepolisian guna pemeriksaan kasus KDRT, ia mengelak karena masih menjaga anaknya. Namun, pada hari Rabu (6/12), 4 anaknya sudah ditemukan berjejer tanpa nyawa di atas tempat tidur.
Diketahui P menganggur selama 5 bulan, ia dan anak-anaknya mengandalkan penghasilan istrinya. Kasus P ini tidak hanya berkaitan dengan isu kemiskinan. Namun, juga soal relasi kuasa, dan patriarki, di mana seorang laki-laki merasa tidak memiliki harga diri ketika ia tidak bekerja, ia barangkali memiliki stigma bahwa laki-laki lah yang harus bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, merasa bahwa sebagai seorang lelaki dan kepala keluarga ia merasa memiliki kuasa, mempunyai kekuatan, dan berhak mengendalikan kehidupan orang-orang di lingkungan domestiknya. Hal-hal ini menurut saya yang akhirnya membentuk dan kemudian mendorongnya melakukan tindak pemukulan dan pembunuhan.
Karena kasus ini beberapa waktu lalu, beberapa orang mulai mencuatkan kembali isu childfree. Untuk menghangatkannya lagi, ada hal-hal yang menurut saya patut dibicarakan dalam pembahasan childfree, yakni:
1. Psikologis- Inner Child dan Pendidikan Parenting yang Salah Sasaran
Menurut saya faktor kesadaran kondisi psikologi menjadi alasan yang sangat proposional untuk membesarkan gelombang Childfree. Proposional di sini adalah alasan yang tidak akan mengundang perdebatan kompleks di masyarakat. Seperti contoh, Gitasav, seorang Influencer yang memutuskan menjadi Childfree, yang sempat dihujat banyak netizen dahulu, dinilai alasanya memilih childfree karena pengalamannya menjadi seorang anak, karena ketidakbahagiaan saat remaja, karena kekecewaannya pada pola asuh ibunya yang narcissistic. Tersirat dari tulisan-tulisannya, ingatan-ingatan dan kekecewaan yang dia bawa hingga hari ini menjadi trauma yang berkelanjutan, merasa sikap narcissistic ibunya menurun padanya, sehingga dia tidak mau punya anak agar rasa sakit yang dialami tidak menjadi lingkaran setan yang akan dirasakan keturunannya. Jadi saya rasa komentar dia seperti bisa botox, bisa jalan-jalan, bisa awet muda bukan tujuan, melainkan hasil dan tedeng dari keputusannya menghadapi trauma tersebut. Menurut saya alasan traumatiknya sudah tepat.
Muda-mudi yang masa kecilnya tidak bahagia, mengalami pola asuh yang salah, kemudian menikah, lalu punya anak, tanpa mengetahui bahwa psikologisnya bermasalah dan/atau tidak mendapat kesempatan re-parenting, “menyembuh diri”, dan tidak kritis dengan ilmu-ilmu parenting ketika membesarkan anaknya, yang belum selesai dengan dirinya sendiri, akan menjadi seperti mata rantai yang tidak bisa diputus, mewariskan pola asuh yang salah itu tadi kepada anaknya, dan akan selalu lahir anak-anak tersakiti yang tidak bahagia. Hal ini diperparah dengan bagaimana selama ini beban domestic, pendidikan parenting, dan beban pengasuhan seringkali hanya ditimpakan kepada kelompok perempuan. Hal ini juga memungkinkan menjadi alasan lebih sering kita mendengar seorang bapak membunuh atau memperkosa anaknya sendiri. Saya yakin kasus P tidak luput dari hal-hal di atas.
2. Finansial
Alasan ini sangat sering diutarakan oleh mereka yang mendukung gerakan childfree. Sebagian mereka mungkin ingin mengubah stigma orang-orangtua di Indonesia yang masih menganggap anaknya sebagai investasi masa tua. Tapi saya merasa ada yang perlu diluruskan dalam hal ini. Kalian pasti sering mendengar kalimat “ Makanya kalau miskin jangan punya anak.”
saya harap Anda meyakini bahwa kemiskinan yang terjadi hari ini tidak alamiah, yakni difaktori oleh kemiskinan struktural, di mana masyarakat dengan sengaja dimiskinkan oleh kebijakan-kebijakan dan aturan yang menguntungkan bagi sebagian orang. Dengan demikian kita tidak serta-merta menyalahkan orang miskin atas meledaknya populasi manusia di dunia. Jadi entah itu, sosialisasi KB atau wacana menjadi Childfree harus dengan cara tidak "meringsak" masyarakat kelas bawah seolah-olah hidup mereka telah salah sejak mereka dilahirkan. Apalagi desakan ini seringkali ditujukan kepada kelompok perempuan karena dinilai perempuanlah yang mengemban tugas menurunkan populasi manusia karena perempuan memiliki rahim.
Menjadi childfree atau mempunyai anak menurut saya adalah bagian dari hak asasi manusia (tentunya dengan disertai tanggung jawab). Namun, apakah hanya orang yang “dimiskinkan” yang akhirnya harus disalahkan atas ini?
3. Ekologi
Huhh, factor ekologi menurut saya sangat komplek. Sudah banyak orang berpendapat childfree lahir dari asumsi kepentingan yang maslahat, yakni krisi ekologi bahwa meledaknya populasi di dunia harus dihadapi dengan mengurangi angka kelahiran. Tapi apakah ini efektif? Saya yakin bahwa segala hal memungkinkan untuk dicoba. Lalu bagaimana jika Indonesia mengalami krisis kelahiran seperti di China, Jepang, atau Korea? Menurut saya, krisis kelahiran juga berperan membantu memperbaiki persoalan ekologi, karena semakin banyak penduduk, maka semakin banyak pula budaya konsumtif dilakukan. Lebih sedikit budaya konsumtif ini ditekan akan semakin sedikit pula kerusakan yang dihasilkan.
Namun, ada pula yang perlu diperhatikan mengenai itu. Apakah dengan sedikitnya penduduk suatu negara menjamin mereka tidak akan merusak lingkungan? Menurut saya, justru dosa atas kerusakan alam yang seringkali kita dengar sebenarnya berawal dari segelintir orang, dari kelompok penduduk yang sedikit, berasal dari kelompok elit. "Mereka" bisa memiliki hanya 1 anak atau 2 anak, atau bahkan memutuskan tidak punya anak, tapi mereka memiliki akses atas kerusakan lingkungan yang terjadi, mereka bisa menciptakan kebijakan yang berakibat buruk pada lingkungan. Mereka membuat masyarakat membutuhkan hal-hal yang merusak lingkungan.
Bagaimana harga sawit lebih murah dari harga minyak jenis lain? Bagaimana penggunaan tenaga batu bara lebih dimudahkan daripada tenaga surya? Bagaimana kemajemukan pekerjaan masyarakat tidak diterima, sehingga mereka harus berganti profesi di sektor industri karena lahan berladang mereka direbut? Bagaimana air menjadi tercemar dan mereka harus mengandalkan air kemasan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu patut kita ajukan pada diri kita sebelum kita menyalahkan orang miskin. Sebagai contoh kecil: perkebunan sawit membuat berkurangnya kuantitas air tanah, pencemaran air, dan berkurangnya populasi satwa. Minyak sawit kita di-export ke Korea, negara yang sedang mengalami krisis kelahiran. Bukan karena mereka memiliki banyak penduduk dan membutuhkan lebih banyak minyak sawit daripada orang Indonesia, tapi karena minyak sawit kita “dibuat” semurah mungkin, dan akhirnya menjadi alternatif untuk dikonsumsi, mengkonsumsi sesuatu yang lebih murah tentunya untuk meringankan besarnya beban ekonomi mereka, dan siapa yang sangat berperan mempengaruhi mahalnya beban hidup masyarakat korea? tentu tidak luput dari bagaimana kebijakan pemerintah, kaum elit, pengusaha di negara mereka, bukan karena faktor sedikitnya populasi di Korea. Sangat komplek, kan?
4. Lingkungan Sosial
Saya meyakini bahwa setiap anak harus dibesarkan oleh seluruh dunia, mereka membutuhkan dunia yang tidak sedang mengalami perang, mereka membutuhkan kebijakan negara yang mendukung mereka mengenyam pendidikan sebaik-baiknya, mereka membutuhkan negara yang tidak merebut lahan pekerjaan orang tuanya, mereka membutuhkan peraturan daerah yang membuat orang tuanya memiliki penghasilan untuk membeli makanan yang bergizi, mereka membutuhkan lingkungan kondusif yang tidak penuh dengan amarah karena orang tuanya susah mencari lapangan pekerjaan, mereka butuh orang-orang dewasa yang menghargai masa depannya, yang tidak melakukan kejahatan, kekerasan, atau pelecehan kepada mereka, sehingga mereka tumbuh menjadi manusia dewasa yang bahagia dan memiliki nilai. Jadi, saya kira persoalannya adalah bagaimana seorang anak yang keluar dari rahim ibu ini, dibesarkan dengan baik, memiliki prinsip hidup bahwa, lingkungan sekitarnya dan alam ini bukan warisan yang bisa mereka exploitasi, justru adalah titipan yang perlu dijaga dan dihargai (DARI) generasi selanjutnya, sehingga mereka tumbuh untuk menjaga titipan itu, untuk dikembalikan lagi kepada generasinya. Pemahaman ini harusnya dimulai dari kita, lingkungan dan alam di sekeliling kita adalah titipan dari generasi kita selanjutnya. Sehingga bagi mereka yang merasa dirinya tidak cukup baik menjadi generasi semacam itu, kemudian menjadi seperti kelompok perusak tadi, mereka lah yang seharusnya dihukum, disalahkan, dan tidak diregenerasi.
Childfree atau memiliki anak adalah pilihan setiap manusia, yang seharusnya konsekuensinya berkaitan dengan alam, kebijakan, dan lingkungan di sekitar mereka, bukan hanya persoalan tanggung jawab orangtua untuk membesarkan mereka atau tidak.
5. Bersiap dan Kesadaran Melawan Arus
Menganut Childfree di indonesia berarti melawan arus karena arus kita masih mengalir bersama pemahaman memiliki anak adalah bagian "wajib" dalam kehidupan. Ketika seseorang ingin melawan arus, dia harus mengetahui di mana dan bagaimana arus itu mengalir. Sebelum dia memutuskan menjadi "berbeda" di tengah-tengah masyarakat, dia harus mengukur resiko dan kondisi masyarakat di sekitarnya.
Saya tahu memperjuangkan sesuatu yang tidak umum akan sangat sulit, tapi menurut saya childfree bisa dan sangat memungkinkan. Masyarakat Indonesia dalam menanggapi Childfree sangat kontra karena masih didominasi oleh budaya dan stigma-stigma lama: banyak anak banyak rejeki, bahwa tujuan menikah adalah memiliki keturunan, mandul adalah aib, anak sebagai hiburan dan obat kesepian untuk orangtua, anak untuk investasi masa tua, alasan agama, dll. Lalu bagaimana agar Childfree mungkin untuk dipopulerkan? saya pikir salah satu caranya dengan massive memberikan contoh-contoh dan pemahaman untuk menggugurkan stigma itu terlebih dahulu. Masyarakat indonesia memang majemuk, tapi persoalannya adalah bahwa mereka tidak mentoleransi kemajemukan yang "tidak umum" untuk dijadikan Contoh.
Misalnya agama, negara kita memiliki agama yang majemuk, alhasil masyarakatnya juga memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, namun perbedaan yang “tidak umum” tentang kepercayaan sulit diterima, seperti menjadi penghayat. Kepercayaan penghayat adalah kemajemukan kepercayaan di Indonesia. Namun, karena sangat sedikit sekali mereka yang menganut, maka itu dianggap tidak umum. Saya kira itu mengapa konsep toleransi kita selama ini terasa terbalik. Di mana kelompok kecil harus menghormati kelompok yang lebih besar, bukan berjalan dua arah.
Oleh karena itu, memperjuangkan sesuatu yang berbeda di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem toleransi terbalik dengan melakukan blunder, secara frontal atau arogan justru akan mengaburkan isu penting yang seharusnya bisa diterima dengan baik dan akan merugikan kelompok itu sendiri.
Popular Posts
Langkah-langkah Melanjutkan perkuliahan Setelah Cuti di Universitas Terbuka
- Get link
- X
- Other Apps
Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment