Skip to main content

Featured

Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata

Mencegah darurat militer sebenarnya tak jauh berbeda dengan mencegah banjir. Sama-sama membutuhkan kerja sama, kesadaran, dan kesigapan. Namun, ketika seorang influencer menulis sebuah kalimat, makna kalimat itu justru menimbulkan perdebatan: apakah ia sedang berterima kasih atau menyindir? Dalam podcast Total Politik terbaru, Soleman B. Ponto , seorang purnawirawan perwira tinggi TNI sekaligus mantan Kepala BIN ( Badan Intelijen Negara ), menyatakan bahwa kalimat Ferry Irwandi dalam postingannya tertanggal 31 Agustus 2025 yang berbunyi, “ Darurat Militer hari ini bisa dicegah. Terima kasih kerja keras dan kerja samanya, teman-teman,” adalah sebuah pernyataan yang mencemarkan nama baik TNI. Menurutnya, karena pada hari itu tidak pernah terjadi Darurat Militer (DM), maka merupakan fitnah saat Ferry Irwandi tiba-tiba menyebut DM. Tidak banyak yang bisa dibahas sebenarnya dalam perdebatan ini, tetapi cukup menarik jika dipandang dari segi bahasa. Seperti kita tahu, dalam perjal...

Menyisir Jam Kerja

Foto: Anis Safitri


 

Pada tahun 2016, seingat saya jam 01.30 dini hari, saya baru menyelesaikan pekerjaan. itu hari ulang tahun saya, majikan perempuan saya masuk ke kamar (yang sebenarnya adalah gudang tempat mereka menyimpan semua barang keluarga) dengan membawa sesuatu yang dibungkus kertas putih tanpa motif, bentuknya tidak kotak, tidak juga bulat, tapi menyerupai gayung kamar mandi.

“Happy Birthday,” katanya.

Saya mengucapkan terima kasih dengan rasa penasaran terhadap apa yang ada di dalam bungkusan itu. Setelah mandi, merapikan sofa tempat saya tidur, sembari menunggu rambut mengering, saya membuka bungkusan itu. Isinya sebuah sisir yang terbuat dari plastik, kepala sisirnya amat besar, seperti kata saya tadi: menyerupai gayung, ganggangnya pendek, dan jari-jari sisirnya lentur. Saya tersenyum melihat sisir yang beberapa hari lalu sempat saya lihat di JHC (sebuah toko perabotan rumah tangga) dengan kisaran harga HKD 30 atau setara harga empat botol air mineral ukuran sedang. Bukan harganya yang membuat saya tersenyum, melainkan maksud dari pemberian itu saya paham betul.

Majikan saya itu secara satire menginginkan saya untuk rajin menyisir rambut. Mungkin ini puncak dari ketidakpuasannya melihat penampilan saya yang acak-acakkan setiap pergi bersamanya di pagi hari menuju rumah nenek di daerah Kwoolon One tempat saya menjaga dua bayi, anak dari majikan saya dan adiknya.

Mungkin bagi orang yang tidak tahu, mereka akan bilang bahwa saya malas menyisir rambut. Akan tetapi, orang yang paham bagaimana rasanya menjadi seorang pekerja migran yang baru datang di Hong Kong tanpa mengetahui sedikitpun hukum perburuhan, mereka akan iba kepada saya. Karena saya hanya tidur 4-5 jam dalam sehari yang membuat saya bahkan tidak sempat memperhatikan penampilan. Ya, Saya adalah salah satu dari lebih dari ribuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran di Hong Kong yang menjadi korban exploitasi jam kerja. 

Pada tahun 2019, Pusat Penelitian Migrasi dan Mobilitas Universitas China melakukan survei yang dibuat pada Mei-September 2017 kepada 380.000 prt migran di Hong Kong dan mereka memukan sebanyak 8,9 % PRT migran bekerja lebih dari 16 jam sehari. 61,7 % bekerja antara 13 sampai 16 jam sehari. Sisanya 26,5 % bekerja 9 sampai 12 jam sehari.

Jam kerja PRT di seluruh dunia adalah salah satu yang terpanjang. Akan tetapi, meregulasi waktu kerja mereka selalu menjadi isu kontroversial dalam perdebatan kebijakan. Saat ini hukum internasional menyatakan waktu normal jam kerja adalah delapan jam, tapi hal ini tidak berlaku bagi pekerja rumah tangga, dan mereka lah yang paling sering dikecualikan.

ILO (Organisasi Perburuhan Internasional ) pada konvensi 1935 (No. 47) menetapkan pada Pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948, yakni jam kerja 40-48 jam per minggu karena mengakui bahwa setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berupah berkala. Namun, pemerintah Hong Kong tetap tidak memasukkan dan menimbang peraturan jam kerja ini untuk prt mirgran sehingga peraturan tersebut hingga kini belum jelas (tidak disebutkan dalam kontak kerja).

Hal ini seperti yang saya sebutkan, regulasi tersebut meskipun sangat adil dan bijaksana namun selalu diperdebatkan,  mungkin karena pekerjaan di dalam rumah berbeda dengan pekerjaan di luar rumah. Pekerjaan di luar rumah memiliki batas-batas yang pasti antara rumah dan tempat kerja, sementara pekerjaan rumah tangga tidak memiliki garis yang jelas. Sulit membedakan antara pekerjaan dan istirahat, tempat istirahat dan tempat bekerja. Keduanya sangat abu-abu. Selain itu, PRT migran terikat dengan peraturan di dalam rumah dan gerak mereka terbatasi oleh relasi kuasa di mana sebagian besar majikan merasa bahwa prt migran yang tinggal di rumahnya itu menumpang bukan dihitung sebagai akomodasi. Jadi mereka wajib mengikuti segala peraturan yang majikan tentukan. 

Seperti:

  • Helper on Call 24/7, selalu siaga, apabila majikan pulang kerja pada jam 2 dini hari, lalu ia tanpa segan membangunkan pembantunya untuk membuatkan makanan, tanpa konpensasi bangun lebih siang.
  • Tidak boleh istirahat sebelum majikan masuk kamar.
  • Harus bangun di pagi hari sebelum majikan bangun. 

 

Memaksa pekerja rumah tangga Migran untuk bekerja secara berlebihan membahayakan kesejahteraan mental dan fisik mereka. Selain kelelahan fisik yang dapat menimbulkan efek jangka panjang, kesehatan mereka juga dapat terganggu, menyebabkan sakit seperti; infertilitas, tekanan darah tinggi, jantung, diabetes.

Mereka juga rentan mengalami depresi, stres, Selain itu, mereka akan kehilangan kehidupan di luar pekerjaan, tidak mampu mengambil bagian dalam kehidupan sipil, tidak dapat menghabiskan waktu bersama teman-teman dan menjalani kepentingan alternatif seperti pendidikan. Pendidikan yang berlebihan juga dapat menghambat kinerja pekerjaan mereka itu sendiri, sehingga hubungan antara kedua belah pihak pun syarat akan masalah.

 

Di tengah gempuran pandemik yang tidak kunjung selesai, keadaan pekerja rumah PRT Migran di Hong Kong semakin memburuk. Belum lagi ditekan dengan jam kerja yang super extra tersebut, hal ini menimbulkan kasus-kasus kesehatan mental di kalangan PRT Migran semakin banyak. Tetapi meskipun isu kesehatan mental ini telah lama timbul, wacana-wacana dan diskusi mengenai kesehatan mental pada PRT migran tampaknya masih sangat kurang dilakukan hingga belum mampu menyeluruh.

Solusi dari permasalahan  ini tentu saja dengan meregulasi jam kerja yang layak bagi PRT Migran. Peraturan tersebut sudah sepatutnya diterapkan karena memiliki banyak manfaat bagi majikan dan prt itu sendiri, misalnya, tidak akan ada konflik untuk menghindari pemaksaan kerja pada jam istirahat. Jika keduabelah pihak minim konflik, majikan maupun PRT-nya akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan mental lebih sehat. 

 

Selain solusi tersebut, hal mendasar dari dalam diri PRT migran itu sendiri juga harus dibenahi sehingga berangkat dengan kesadaran diri sendiri mereka akan turut serta memperjuangkan hak-haknya dalam pekerjaan. Karena masih banyak PRT migran yang merasa tidak memiliki nilai berharga dalam diri, mereka selalu beranggapan bahwa tidak perlu berurusan dengan politik nasional maupun politik di negara penempatan, tidak perlu menuntut regulasi jam kerja, tidak perlu ikut campur menuntut kenaikan gaji. Pemikiran ini muncul karena mereka menganggap dirinya yang berprofesi sebagai pembantu, babu, TKW (tenaga kerja wanita) tidak pantas dan tidak memiliki andil dalam penentuan kebijakan, hanya perlu menurut dan menjalankan peraturan.

 

Dulu, karena saya tidak merasa tereksploitasi oleh kondisi semacam itu, saya pikir sisir hadiah dari majikan itu adalah sebuah perhatian. Namun, setelah banyak belajar, rasanya bukan rambut saya yang perlu disisir, tapi merekalah yang seharusnya “menyisir” jam kerja saya.


*Terbit dalam buku antologi esai berjudul: Cerita Tangguh dari Hong Kong

 

Comments