Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Menyisir Jam Kerja
Pada tahun 2016, seingat
saya jam 01.30 dini hari, saya baru menyelesaikan pekerjaan. itu hari ulang tahun saya, majikan
perempuan saya masuk ke kamar (yang sebenarnya adalah gudang tempat mereka
menyimpan semua barang keluarga) dengan membawa sesuatu yang dibungkus kertas
putih tanpa motif, bentuknya tidak kotak, tidak juga bulat, tapi menyerupai
gayung kamar mandi.
“Happy Birthday,”
katanya.
Saya mengucapkan terima
kasih dengan rasa penasaran terhadap apa yang ada di dalam bungkusan itu.
Setelah mandi, merapikan sofa tempat saya tidur, sembari menunggu rambut
mengering, saya membuka bungkusan itu. Isinya sebuah sisir yang terbuat
dari plastik, kepala sisirnya amat besar, seperti kata saya tadi: menyerupai
gayung, ganggangnya pendek, dan jari-jari sisirnya lentur. Saya tersenyum
melihat sisir yang beberapa hari lalu sempat saya lihat di JHC (sebuah toko
perabotan rumah tangga) dengan kisaran harga HKD 30 atau setara harga empat botol air mineral ukuran
sedang. Bukan harganya yang membuat saya tersenyum, melainkan maksud dari pemberian
itu saya paham betul.
Majikan saya itu secara satire menginginkan saya untuk
rajin menyisir rambut. Mungkin ini puncak dari ketidakpuasannya melihat penampilan saya
yang acak-acakkan setiap pergi bersamanya di pagi hari menuju rumah nenek di
daerah Kwoolon One tempat saya menjaga dua bayi, anak dari majikan saya
dan adiknya.
Mungkin bagi orang yang
tidak tahu, mereka akan bilang bahwa saya malas menyisir rambut. Akan tetapi, orang yang paham
bagaimana rasanya menjadi seorang pekerja migran yang baru datang di Hong Kong
tanpa mengetahui sedikitpun hukum perburuhan, mereka akan iba kepada saya. Karena saya
hanya tidur 4-5 jam dalam sehari yang membuat saya bahkan tidak sempat memperhatikan
penampilan. Ya, Saya adalah salah satu dari lebih dari ribuan Pekerja Rumah
Tangga (PRT) migran di Hong Kong yang menjadi korban exploitasi jam
kerja.
Pada
tahun 2019, Pusat Penelitian Migrasi dan Mobilitas Universitas China melakukan
survei yang dibuat pada Mei-September 2017 kepada 380.000 prt migran di Hong Kong dan mereka memukan sebanyak 8,9 %
PRT migran bekerja lebih dari 16 jam sehari. 61,7 % bekerja antara 13 sampai 16
jam sehari. Sisanya 26,5 % bekerja 9 sampai 12 jam sehari.
Jam kerja PRT di seluruh
dunia adalah salah satu yang terpanjang. Akan tetapi, meregulasi waktu kerja mereka
selalu menjadi isu kontroversial dalam perdebatan kebijakan. Saat ini hukum
internasional menyatakan waktu normal jam kerja adalah delapan jam, tapi hal ini
tidak berlaku bagi pekerja rumah tangga, dan mereka lah yang paling sering
dikecualikan.
ILO (Organisasi
Perburuhan Internasional ) pada konvensi 1935 (No. 47) menetapkan pada
Pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB pada tahun 1948, yakni jam kerja 40-48 jam per minggu karena mengakui
bahwa setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan jam
kerja yang wajar dan liburan berupah berkala. Namun, pemerintah Hong Kong
tetap tidak memasukkan dan menimbang peraturan jam kerja ini untuk prt mirgran sehingga peraturan tersebut hingga kini belum jelas (tidak disebutkan dalam
kontak kerja).
Hal ini seperti yang
saya sebutkan, regulasi tersebut meskipun sangat adil dan bijaksana namun selalu diperdebatkan,
mungkin karena pekerjaan di dalam rumah berbeda dengan pekerjaan di luar rumah.
Pekerjaan di luar rumah
memiliki batas-batas yang pasti antara rumah dan tempat kerja, sementara
pekerjaan rumah tangga tidak memiliki garis yang jelas. Sulit membedakan antara
pekerjaan dan istirahat, tempat istirahat dan tempat bekerja. Keduanya sangat
abu-abu. Selain itu, PRT migran terikat dengan peraturan di dalam rumah dan gerak mereka terbatasi
oleh relasi kuasa di mana sebagian besar majikan merasa bahwa prt migran yang tinggal di rumahnya
itu menumpang bukan dihitung sebagai akomodasi. Jadi mereka wajib mengikuti segala
peraturan yang majikan tentukan.
Seperti:
- Helper on Call 24/7, selalu
siaga, apabila majikan pulang kerja pada jam 2 dini hari, lalu ia tanpa
segan membangunkan pembantunya untuk membuatkan makanan, tanpa konpensasi
bangun lebih siang.
- Tidak boleh istirahat sebelum
majikan masuk kamar.
- Harus bangun di pagi hari
sebelum majikan bangun.
Memaksa pekerja rumah
tangga Migran untuk bekerja secara berlebihan membahayakan kesejahteraan mental
dan fisik mereka. Selain kelelahan fisik yang dapat menimbulkan efek jangka
panjang, kesehatan mereka juga dapat terganggu, menyebabkan sakit seperti;
infertilitas, tekanan darah tinggi, jantung, diabetes.
Mereka juga rentan
mengalami depresi, stres, Selain itu, mereka akan kehilangan
kehidupan di luar pekerjaan, tidak mampu mengambil bagian dalam kehidupan
sipil, tidak dapat menghabiskan waktu bersama teman-teman dan menjalani
kepentingan alternatif seperti pendidikan. Pendidikan yang berlebihan juga dapat menghambat
kinerja pekerjaan mereka itu sendiri, sehingga hubungan antara kedua belah
pihak pun syarat akan masalah.
Di tengah gempuran
pandemik yang tidak kunjung selesai, keadaan pekerja rumah PRT Migran di Hong
Kong semakin memburuk. Belum lagi ditekan dengan jam kerja yang super extra
tersebut, hal ini menimbulkan kasus-kasus kesehatan mental di kalangan PRT
Migran semakin banyak. Tetapi meskipun isu kesehatan mental ini telah lama
timbul, wacana-wacana dan diskusi mengenai kesehatan mental pada PRT migran tampaknya masih sangat
kurang dilakukan hingga belum mampu menyeluruh.
Solusi dari
permasalahan ini tentu saja dengan meregulasi jam kerja yang layak bagi
PRT Migran. Peraturan tersebut sudah sepatutnya diterapkan karena memiliki banyak manfaat bagi majikan dan prt itu sendiri, misalnya, tidak akan ada konflik
untuk menghindari pemaksaan kerja pada jam istirahat. Jika keduabelah pihak minim
konflik, majikan maupun PRT-nya akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dan mental lebih sehat.
Selain solusi tersebut,
hal mendasar dari dalam diri PRT migran itu sendiri juga harus dibenahi sehingga berangkat
dengan kesadaran diri sendiri mereka akan turut serta memperjuangkan hak-haknya
dalam pekerjaan. Karena masih banyak PRT migran yang merasa tidak memiliki
nilai berharga dalam diri, mereka selalu beranggapan bahwa tidak perlu
berurusan dengan politik nasional maupun politik di negara penempatan, tidak perlu menuntut regulasi
jam kerja, tidak perlu ikut campur menuntut kenaikan gaji. Pemikiran ini muncul karena mereka menganggap dirinya
yang berprofesi sebagai pembantu, babu, TKW (tenaga kerja wanita) tidak pantas dan tidak
memiliki andil dalam penentuan kebijakan, hanya perlu menurut dan menjalankan peraturan.
Dulu, karena saya tidak merasa tereksploitasi oleh kondisi
semacam itu, saya pikir sisir hadiah dari majikan itu adalah sebuah perhatian.
Namun, setelah banyak belajar,
rasanya bukan rambut saya yang perlu disisir, tapi merekalah yang seharusnya
“menyisir” jam kerja saya.
*Terbit dalam buku antologi esai berjudul: Cerita Tangguh dari Hong Kong
Popular Posts
Langkah-langkah Melanjutkan perkuliahan Setelah Cuti di Universitas Terbuka
- Get link
- X
- Other Apps
Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment