Skip to main content

Featured

Bahasa yang Lebih Menakutkan dari Senjata

Mencegah darurat militer sebenarnya tak jauh berbeda dengan mencegah banjir. Sama-sama membutuhkan kerja sama, kesadaran, dan kesigapan. Namun, ketika seorang influencer menulis sebuah kalimat, makna kalimat itu justru menimbulkan perdebatan: apakah ia sedang berterima kasih atau menyindir? Dalam podcast Total Politik terbaru, Soleman B. Ponto , seorang purnawirawan perwira tinggi TNI sekaligus mantan Kepala BIN ( Badan Intelijen Negara ), menyatakan bahwa kalimat Ferry Irwandi dalam postingannya tertanggal 31 Agustus 2025 yang berbunyi, “ Darurat Militer hari ini bisa dicegah. Terima kasih kerja keras dan kerja samanya, teman-teman,” adalah sebuah pernyataan yang mencemarkan nama baik TNI. Menurutnya, karena pada hari itu tidak pernah terjadi Darurat Militer (DM), maka merupakan fitnah saat Ferry Irwandi tiba-tiba menyebut DM. Tidak banyak yang bisa dibahas sebenarnya dalam perdebatan ini, tetapi cukup menarik jika dipandang dari segi bahasa. Seperti kita tahu, dalam perjal...

Dari Tsuen Wan Barat (Cerpen)


    Dari tempat aku duduk di sebuah gerbong MTR, tidak jauh, aku melihat sekelebat laki-laki berbaju hitam yang menyerupai bentuk tubuhmu: tinggi dan kurus. Ia keluar dari gerbong bersama kerumunan orang yang hendak turun di Mei Foo, satu stasiun sebelum stasiun Tsuen Wan Barat. Sontak aku berdiri dan mencari-cari, menegok-nengok, berjalan satu dua langkah, tapi seseorang yang menyerupaimu tadi tidak kutemukan.
    Aku pun duduk kembali, tubuh
penumpang yang baru saja turun masih samar terlihat melalui jendela kereta yang mulai melaju. Angin lembut melewati tubuhku, kulipat kedua tangan di dada, berharap dapat menghalau hawa dingin yang tiba-tiba datang begitu saja. Kupikir awalnya tidak apa-apa jika lelaki itu bukan kau, tapi aku salah, pipiku mulai basah dan dadaku gelisah.
    Kutempelkan kepala pada sandaran kursi berbahan kaca di sebelah kiriku, mencoba mengusir kecewa dan hawa dingin yang rasanya secara perlahan-lahan menusuk ke ulu hati. Lima menit kemudian, akhirnya aku sampai di stasiun Tsuen Wan Barat, semua penumpang termasuk aku keluar dari kereta, tinggallah gerbong-gerbong kosong, dan bising suara petugas yang berulang kali mengingatkan: "Anda telah sampai di stasiun terakhir pada jalur Ungu. Anda telah sampai di stasiun terakhir pada jalur Ungu."
    Para penumpang mencari tahu darimana asal suara itu, beberapa dari mereka tertawa kecil karena merasa lucu. Tsuen Wan Barat bukan stasiun terakhir. Masih ada beberapa stasiun lagi untuk menuju Tuen Mun. Kereta harus tetap berjalan dengan atau tanpa seorangpun di dalamnya. Sebab waktu adalah penumpang, ia tidak akan mengizinkan kereta untuk terlambat datang.
    Malam ini aku ingin pulang terlambat. Berniat sesekali bisa membangkang dari perintah majikan untuk pulang sebelum pukul sembilan malam.
    Kurogoh kartu Octopus di saku celana sembari memandang tangga eskalator yang berjalan naik dari bawah tanah. Aku keluar dari stasiun. Bau angin laut menyambutku. Untuk sampai ke rumah, dari stasiun aku belok kiri dan masih harus berjalan menyusuri pinggiran laut.
    Jalan itu sebuah trotoar beralas batako, pagar pembatas berwana biru muda, pohon-pohon yang tidak kutahu apa namanya rindang dan tumbuh dengan rapi. Jalan itu tempat yang biasanya digunakan penduduk lokal menikmati indah senja di balik jembatan gantung atau sekedar berlari-lari kecil, berharap lebih sehat dan menjauhi kematian
    Bau amis begitu menusuk hidungku, bau bahan bakar dari kapal-kapal yang berjejer di permukaan air itu juga tercium. Di tengah rasa rinduku padamu, aku terus berjalan dan mulai menggerutu.
"Sialan sekali jadi TKW, libur hanyalah omong kosong, Minggu terlewat begitu cepat, pergi libur harus bekerja dulu, pulang libur masih harus mencuci piring bekas makan malam."
    Di salah satu sudut jalan ini terdapat sebuah bangku kayu yang menghadap ke arah barat, tepat ke arah laut yang penuh kapal-kapal pencari ikan. Sementara di kejauhan terpampang megah jembatan gantung. Sayangnya, malam membuat pekat semua pemandangan.
    Kuputuskan untuk duduk di bangku itu, angin berhembus begitu dingin dan aku mulai merinding. Seminggu yang lalu, di permukaan air, pas di depan bangku ini, kabarnya ditemukan sesosok mayat wanita mengambang, seorang TKW asal Indonesia yang bunuh diri dengan melompat ke laut, menurut kabar yang kudengar: ia depresi karena hubungannya dengan sang kekasih tidak direstui keluarga, padahal mereka berencana menikah dalam waktu dekat, lalu kekasihnya memutuskan untuk menyebarkan foto telanjang milik gadis tersebut karena merasa kecewa.
    Aku bisa membayangkan bagaimana menjadi dia, perasaan tak punya siapa-siapa di Hong Kong, jauh dari keluarga, enam hari terkungkung di rumah majikan, dengan beban hati dan hidup yang sekaligus ditanggungnya.
    Mengingat gadis yang bunuh diri itu, aku makin rindu padamu, akhirnya kukirim pesan melalui WhatsApp:
"Mas, bagaimana kabarmu? Apa kau masih marah? Lama sekali kau tidak menghubungiku."
Pesanku langsung kau baca, tapi kau tak lekas membalasnya.
"Ini siapa?" balasmu setelah sepuluh menit.
    Saat kau balas itu, lelaki berbaju hitam yang sempat kulihat di gerbong MTR tadi terlihat lagi, ia berjalan dari arah kiri dan menghampiriku. Ia berjalan dan terus berjalan dari kejauhan. Semakin mendekat dan mendekat hingga membuatku sangat penasaran.
"Apa kau menghapus nomorku?" kubalas pesanmu dengan rasa kecewa.
"Siapa kau? Cepat katakan!" dari caramu mengetik pesan, aku tahu kau masih marah.
    Sembari menangis, aku tetap memperhatikan lelaki berbaju hitam yang semakin dekat padaku itu, aku juga mulai sedih tidak karuan. Mengapa kau begitu marah? Apa salahku?
"Aku Anissa."
"Bohong!" balasmu cepat.
"Demi Tuhan!" aku mencoba meyakinkanmu, sedangkan lelaki itu telah berada di hadapanku
"Bohong, Anissa mati bunuh diri seminggu yang lalu!!" tulismu.



*Cerpen ini pernah dibacakan di Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.




Comments